“ Kenapa harus
begini?” geramku, kumasukkan catatan fisikaku ke dalam tas.
Ku pikirkan kesalahan itu. Maafkan aku, aku
memang manusia yang tak sempurna. Kecerobohan itu bukan aku yang menciptakan.
Tolong mengertilah aku! Melihat mereka berkerumunan bersama-sama. Aku ingin
seperti itu. Tapi untuk apa? Kamu bakal di cemoohkan lagi Salma. Ingat! Jangan
sampai dibodohi lagi. Kenapa kalian
mengejekku terus. Bukan aku yang memecahkannya.
“ Salma! Sal!
Tunggu aku!”, teriaknya dengan wajah ngos-ngosan menghampiriku. “ Ada apa Helena?”,
bingung akan sikapnya berubah drastis. Kenapa
dia memanggilku? Apa aku berbuat salah lagi? Ah biarlah.“ Aku pulang sama
kamu ya?”, katanya. “ Lho? Nggak jadi pulang sama Jenni?”, tanyaku mengangkat
alis.
Di perjalanan,
Jenni bercerita panjang lebar. Namun dia tidak pernah mengungkit hal itu. Aku
hanya bisa mendengar ceritanya. Cerita tentang pacarnya, tentang gebetan baru,
sampai cerita liburan ke Medan dikediaman Tantenya, serta
oleh-oleh untuk kawan-kawannya.
Hah? Oleh-oleh? Buatku mana? “Oh, gitu
ya?”, komentarku seadanya. Terintimidasi
itu sungguh menyebalkan. Bak dipermainkan seperti boneka. Lalu aku teringat
kata Bunda, “Manusia yang paling lemah itu adalah orang yang tidak mampu mencari
teman. Namun yang lemah dari pada itu ialah orang yang mendapatkan banyak teman
tapi menyia-nyiakannya (riwayat Ali bin Abu thalib).”
Aku terus
mengayuh sepeda Phoenixku. Kayuhanku semakin kencang. Angin menerpa kerudungku.
Sayup-sayup terasa kencang dan aku tak bisa mengendalikan beban pikiran. Lalu,
“Brukk!”. Kulirik darimana suara itu berasal. Seorang nenek jatuh dari sepeda. Langsung
kuputar balikkan arah sepedaku menuju ke tempat nenek yang jatuh itu. Langsung
kujatuhkan sepedaku ke tanah. “Nenek tak apa?”, tanyaku khawatir seraya mengangkat
sepeda nenek dan membantu membangunkannya. “Tak apa, nak. Kamu baik sekali,
terima kasih nak. Namamu siapa?”, tanyanya. Senyumnya mengembang melihatku
bengong tanpa respon. Pakaian nenek itu sungguh lusuh. Kulihat nenek mengambil
koran-koran bekas dan kardus yang berserakan. Koran-koran itu terlalu banyak
sehingga membuat nenek jatuh.
Aku pun membantunya
memunguti barang-barang rongsokan itu. Setelah selesai kutata rapi, lalu kuikat
kembali barang tersebut dibelakang sepeda nenek. “Nak, kapan-kapan mampir ya ke
gubuk nenek. Tak jauh kok. Kalau dari sini, kamu lurus aja dan belok kiri. Nah,
disitu cuma ada satu rumah dan itulah rumah nenek“, jelasnya ramah. Kembali terlihat
ulasan senyum di wajahnya. Aku kembali membalas senyuman itu.
“Nek, nenek!”, ku panggil nenek
yang hendak meninggalkanku. “Maaf nek, tadi saya tidak menjawab pertanyaan
nenek, nama saya Salma Phonna”, aku hanya melihat nenek itu kembali tersenyum lalu
ia kembali mengayuh sepedanya. Aku pun kembali mengambil sepedaku yang ku
jatuhkan tadi untuk pulang.
*****
“Salma, bagi
jawabannya dong, aku belum siap PeeR nih. Please bantu aku!”, pinta Helena
merayu. “Janganlah, aku capek buatnya tau.”, ketusku. “Wah-wah, tega kali dia
sama kita. Pelit !”, Helena langsung pergi tanpa menghiraukanku.
Sepanjang hari,
aku hanya sendiri tanpa teman. Semua menjauhiku karena mereka menganggapku
sebagai cewek egois, pelit, dan pembuat masalah. Dulu hal itu bisa kulupakan
sekejap. Namun entah mengapa fikiranku selalu dipenuhi oleh teman, teman dan
teman. Salahkah aku yang sepanjang hari mengerjakan PeeR dengan susah payah
mengabaikan permintaan mereka yang hanya menulis hasil kerjaku? Hidup mereka
santai. Pergi sekolah sudah dapat jawaban tinggal tulis tanpa dapat sanksi.
Apakah itu namanya hidup? Hidup perlu usaha agar dapat meraih kesuksesan.
Aku hanya
terdiam. Apakah aku seorang pendiam? Tidak, aku hanya sulit menemukan seseorang
yang mengerti keadaanku. Berkomunikasi, bersosialisasi dan berbagi. Hufft, selama
ini aku baru mengerti, aku harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
walaupun itu pahit. Aku akan menanti, karena aku tau badai pasti berlalu. Dulu,
aku selalu memberikannya pada mereka. Aku baru tau, mereka mendekatiku disaat
genting. Tidak tulus! Sekarang aku acuh tak acuh malah dijauhi dan tidak
didekati.
****
Pagi
itu, langkahku terlalu kaku untuk diangkat. Menuju sekolah. Itu adalah hal yang
paling tidak kusukai. Lalu, aku teringat perkataan nenek yang kemarin kutolong.
“Nak, kapan-kapan mampir ya ke gubuk
nenek. Tak jauh kok, kalau dari sini. Kamu lurus aja dan belok kiri. Nah,
disitu cuma ada satu rumah dan itulah rumah nenek.“ Dengan semangat 45, aku
langsung menuju rumah nenek itu. Aku fikir lebih baik aku bolos sekolah hari
ini. Setiba dirumah nenek. Aku terkejut melihat rumah nenek itu. Rumah
satu-satunya dengan atap rumbia yang begitu tua. Aku tak menyangka nenek itu
masih sanggup tinggal dirumah seperti itu. Namun aku tak terlalu memikirkan hal
itu. Aku hanya ingin bertemu nenek itu. Setapak kaki baru kulangkahkan.
Terlihat seorang berbaju lusuh tertatih-tatih menujuku.
“Nenek!”,
teriakku dan langsung kuhampiri sang nenek yang sedang mengangkat kayu bakar.
Aku sangat senang membantu nenek kembali, karena senyumannya itu membuat aku semakin
bersemangat membantunya. “Salma, ini pisang gorengnya dimakan, jangan
sungkan-sungkan! Anggap aja ini rumahmu!”, menyodorkan pisang goreng hangat itu
padaku dan kembali merekah senyuman terindahnya. “ Nak, tidak seharusnya kamu
lari seperti ini. Haruskah dengan bolos sekolah?”.
“Glek.” Mendengar perkataan nenek
langsung aku terperanjat, pisang goreng yang baru setengah ku makan pun jadi buyar, tak selera. “Ada apa?”, nenek itu bertanya. “Tak ada nek, aku hanya
merasa kesepian, itu saja”, jawabku singkat.
“Hoho,
kecil-kecil sudah kesepian. Semestinya nenek yang mengatakan hal itu. Perhatikan diantara rumah-rumah yang disini, hanya rumah nenek berdiri sendiri. Apakah dia
merasakan kesepian?”, menunjukkan rumah-rumah yang ada disekeliling. “Tapi kan,
itu hanya rumah nek”, belaku. Nenek hanya terdiam. Aku sangat penasaran akan
jawaban nenek. Tiba-tiba selera makanku kembali pulih. Aku kembali mengambil
pisang goreng itu.
“Terkadang, ada
kalanya manusia itu belajar dari sekelilingnya. Seperti air, tanah, angin, pada
rumput-rumput yang bergoyang dan juga padi yang tumbuh subur disini”, jelas
nenek sambil memandang langit biru.
“ Kenapa
seperti air, tanah, angin, pada rumput-rumput yang bergoyang dan juga padi yang
tumbuh subur disini?” Tanyaku penasaran.
“Nak, taukah
kamu? Allah menciptakan semua makhluk di dunia ini saling berkaitan dan juga
saling memilki ketergantungan. Itulah rahmat. Tanpa air kita tak dapat hidup
dan dari air kita dapat mengambil pelajaran. Air mengalir dari tempat yang
tinggi ketempat yang rendah. Mengapa? Pada dasarnya ia memang harus mengalir.
Dialah benda cair. Padi, semakin berisi ia semakin merunduk. Nah, dari padi
juga kita dapat mengambil pelajaran”
“Pesan nenek.
Jadilah dirimu sendiri. Penganglah dan yakinlah pada prinsipmu sendiri.
Janganlah berperilaku sombong. Contohlah padi yang semakin merunduk karena
ilmunya. Kenapa tak boleh berperilaku sombong? Karena sombong adalah sifatnya
setan. Mungkin kamu bingung kenapa nenek harus begini? Nak, anggap semua itu
adalah rahmat. Mungkin Allah memberikan rahmat kepadamu, kamu mendapat teman
seperti itu, kamu dapat belajar karena mereka. Janganlah bersedih. Tak ada
masalah didunia ini yang tak dapat terselesaikan. Jalani dan bersikaplah
bijaksana dan yang terpenting, tersenyumlah. Karena sebuah senyuman dapat
meringankan beban seberat apapun”.
Aku hanya
terdiam mendengar penjelasan nenek yang panjang lebar. Sungguh beruntung aku
punya teman seperti mereka, tetapi aku tak bisa bergaul dengan baik. Aku baru
tau, aku belum pandai menempatkan diri dalam suatu keadaan. Memang aku perlu
waktu, itu memang bukan salahku. Untuk apa kufikirkan.
“Nek, nasehat
nenek sungguh berharga bagi Salma lho nek. Salma sungguh bersyukur dan bahagia setelah
mendengar itu semua”, Jelasku. Aku kembali melahap pisang goreng nenek dan
senyumku mulai merekah, nenek pun membalasnya. Kemudian, nenek kembali
merapikan koran-koran bekasnya.
****
Setelah satu
minggu berlalu, pesan Bunda kembali teringat dibenakku. Aku baru tahu makna
dari perkataan Bunda itu. Aku baru dapat menyesuaikan diri. Dan aku juga
berterima kasih pada nenek itu. Nenek telah mengajariku tentang kehidupan. Sekarang,
aku akan menghadapinya dengan senyuman. Karena tak ada masalah didunia ini yang
tidak dapat terselesaikan.
“Sal…”,
seseorang menepuk pundakku. “Iya…“, kubalikkan arah badanku. “Helena? Ada apa?”
melihatnya wajahku penuh dengan sejuta pertanyaan. “Maafkan aku Salma, aku
salah menilaimu. Semestinya aku tau akan sikapku padamu. Aku ingin kamu dapat
memaafkanku. Soal kemarin itu, itu salahku. Aku tak sengaja memecahkan guci mamanya
Jenni. Maafkan aku, malah kamu yang dituduh, sungguh susah mencari teman yang
setia”, Helena menangis tersedu-sedu.
“Ouhh. Itu… Aku
udah memaafkan kamu kok. Lagi pula, mamanya Jenni nggak marah kok”, senyumku. “Salma…
makasihhh “, merangkul tubuhku. “Tapi, kok kamu bilang sungguh susah mencari
teman yang setia, memang apa yang terjadi?”, tanya Salma.“Ouhh., kemarin itu
aku dan teman-teman ditraktir. Katanya aku dijemput, lama kutunggu mereka, tapi
Jenni mengingkari janjinya, dia malah jemput Lisa”, mata Helena berkaca-kaca
hingga air matanya kembali menetes. “Ya sudah nggak usah sedih lagi”, menenangkan
Helena.
***
Sore hari, aku mengambil
sepedaku untuk bermain. Terlintas dipikiranku “nenek”. Langsung aku melaju
kerumah nenek. Mana rumah nenek? Hilang? Hanya sawah yang dapat kulihat. Tiba-tiba,
lewatlah seorang petani membawa cangkul di depanku. “Pak, Pak…!”, panggilku.
“Ia, ada apa nak?”, jawab petani itu, paculnya dijatuhkan ketanah.“ Rumah yang
disawah ini dimana ya Pak?”, tanganku menunjuk ke arah sawah yang kufikir
sebuah rumah seharusnya ada disitu.
“Hah? Rumah? Sepertinya disini tidak ada rumah, disini semua sawah nak”,
terang petani itu.
Aku bingung
mendengar jawaban bapak itu. Tanpa berpikir panjang aku langsung membalikkan arah sepeda menuju
pulang. Aku hanya bisa tersenyum dan merasa aneh.