Kamis, 23 Mei 2013

Senyuman Nenek

Novie Yurlanda

“ Kenapa harus begini?” geramku, kumasukkan catatan fisikaku ke dalam tas.
Ku pikirkan kesalahan itu. Maafkan aku, aku memang manusia yang tak sempurna. Kecerobohan itu bukan aku yang menciptakan. Tolong mengertilah aku! Melihat mereka berkerumunan bersama-sama. Aku ingin seperti itu. Tapi untuk apa? Kamu bakal di cemoohkan lagi Salma. Ingat! Jangan sampai dibodohi lagi. Kenapa kalian mengejekku terus. Bukan aku yang memecahkannya.
“ Salma! Sal! Tunggu aku!”, teriaknya dengan wajah ngos-ngosan menghampiriku. “ Ada apa Helena?”, bingung akan sikapnya berubah drastis. Kenapa dia memanggilku? Apa aku berbuat salah lagi? Ah biarlah.“ Aku pulang sama kamu ya?”, katanya. “ Lho? Nggak jadi pulang sama Jenni?”, tanyaku mengangkat alis.
Di perjalanan, Jenni bercerita panjang lebar. Namun dia tidak pernah mengungkit hal itu. Aku hanya bisa mendengar ceritanya. Cerita tentang pacarnya, tentang gebetan baru, sampai cerita liburan ke Medan dikediaman Tantenya, serta oleh-oleh untuk kawan-kawannya.
Hah? Oleh-oleh? Buatku mana? “Oh, gitu ya?”, komentarku seadanya. Terintimidasi itu sungguh menyebalkan. Bak dipermainkan seperti boneka. Lalu aku teringat kata Bunda, “Manusia yang paling lemah itu adalah orang yang tidak mampu mencari teman. Namun yang lemah dari pada itu ialah orang yang mendapatkan banyak teman tapi menyia-nyiakannya (riwayat Ali bin Abu thalib).”
Aku terus mengayuh sepeda Phoenixku. Kayuhanku semakin kencang. Angin menerpa kerudungku. Sayup-sayup terasa kencang dan aku tak bisa mengendalikan beban pikiran. Lalu, “Brukk!”. Kulirik darimana suara itu berasal.  Seorang nenek jatuh dari sepeda. Langsung kuputar balikkan arah sepedaku menuju ke tempat nenek yang jatuh itu. Langsung kujatuhkan sepedaku ke tanah. “Nenek tak apa?”, tanyaku khawatir seraya mengangkat sepeda nenek dan membantu membangunkannya. “Tak apa, nak. Kamu baik sekali, terima kasih nak. Namamu siapa?”, tanyanya. Senyumnya mengembang melihatku bengong tanpa respon. Pakaian nenek itu sungguh lusuh. Kulihat nenek mengambil koran-koran bekas dan kardus yang berserakan. Koran-koran itu terlalu banyak sehingga membuat nenek jatuh.
Aku pun membantunya memunguti barang-barang rongsokan itu. Setelah selesai kutata rapi, lalu kuikat kembali barang tersebut dibelakang sepeda nenek. “Nak, kapan-kapan mampir ya ke gubuk nenek. Tak jauh kok. Kalau dari sini, kamu lurus aja dan belok kiri. Nah, disitu cuma ada satu rumah dan itulah rumah nenek“, jelasnya ramah. Kembali terlihat ulasan senyum di wajahnya. Aku kembali membalas senyuman itu.
“Nek, nenek!”, ku panggil nenek yang hendak meninggalkanku. “Maaf nek, tadi saya tidak menjawab pertanyaan nenek, nama saya Salma Phonna”, aku hanya melihat nenek itu kembali tersenyum lalu ia kembali mengayuh sepedanya. Aku pun kembali mengambil sepedaku yang ku jatuhkan tadi untuk pulang.
*****
“Salma, bagi jawabannya dong, aku belum siap PeeR nih. Please bantu aku!”, pinta Helena merayu. “Janganlah, aku capek buatnya tau.”, ketusku. “Wah-wah, tega kali dia sama kita. Pelit !”, Helena langsung pergi tanpa menghiraukanku.
Sepanjang hari, aku hanya sendiri tanpa teman. Semua menjauhiku karena mereka menganggapku sebagai cewek egois, pelit, dan pembuat masalah. Dulu hal itu bisa kulupakan sekejap. Namun entah mengapa fikiranku selalu dipenuhi oleh teman, teman dan teman. Salahkah aku yang sepanjang hari mengerjakan PeeR dengan susah payah mengabaikan permintaan mereka yang hanya menulis hasil kerjaku? Hidup mereka santai. Pergi sekolah sudah dapat jawaban tinggal tulis tanpa dapat sanksi. Apakah itu namanya hidup? Hidup perlu usaha agar dapat meraih kesuksesan.
Aku hanya terdiam. Apakah aku seorang pendiam? Tidak, aku hanya sulit menemukan seseorang yang mengerti keadaanku. Berkomunikasi, bersosialisasi dan berbagi. Hufft, selama ini aku baru mengerti, aku harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan walaupun itu pahit. Aku akan menanti, karena aku tau badai pasti berlalu. Dulu, aku selalu memberikannya pada mereka. Aku baru tau, mereka mendekatiku disaat genting. Tidak tulus! Sekarang aku acuh tak acuh malah dijauhi dan tidak didekati.
****
                Pagi itu, langkahku terlalu kaku untuk diangkat. Menuju sekolah. Itu adalah hal yang paling tidak kusukai. Lalu, aku teringat perkataan nenek yang kemarin kutolong. “Nak, kapan-kapan mampir ya ke gubuk nenek. Tak jauh kok, kalau dari sini. Kamu lurus aja dan belok kiri. Nah, disitu cuma ada satu rumah dan itulah rumah nenek.“ ­Dengan semangat 45, aku langsung menuju rumah nenek itu. Aku fikir lebih baik aku bolos sekolah hari ini. Setiba dirumah nenek. Aku terkejut melihat rumah nenek itu. Rumah satu-satunya dengan atap rumbia yang begitu tua. Aku tak menyangka nenek itu masih sanggup tinggal dirumah seperti itu. Namun aku tak terlalu memikirkan hal itu. Aku hanya ingin bertemu nenek itu. Setapak kaki baru kulangkahkan. Terlihat seorang berbaju lusuh tertatih-tatih menujuku.
“Nenek!”, teriakku dan langsung kuhampiri sang nenek yang sedang mengangkat kayu bakar. Aku sangat senang membantu nenek kembali, karena senyumannya itu membuat aku semakin bersemangat membantunya. “Salma, ini pisang gorengnya dimakan, jangan sungkan-sungkan! Anggap aja ini rumahmu!”, menyodorkan pisang goreng hangat itu padaku dan kembali merekah senyuman terindahnya. “ Nak, tidak seharusnya kamu lari seperti ini. Haruskah dengan bolos sekolah?”.
“Glek.” Mendengar perkataan nenek langsung aku terperanjat, pisang goreng yang baru setengah ku makan pun jadi buyar, tak selera. “Ada apa?”, nenek itu bertanya. “Tak ada nek, aku hanya merasa kesepian, itu saja”, jawabku singkat.
“Hoho, kecil-kecil sudah kesepian. Semestinya nenek yang mengatakan hal itu. Perhatikan diantara rumah-rumah yang disini, hanya rumah nenek berdiri sendiri. Apakah dia merasakan kesepian?”, menunjukkan rumah-rumah yang ada disekeliling. “Tapi kan, itu hanya rumah nek”, belaku. Nenek hanya terdiam. Aku sangat penasaran akan jawaban nenek. Tiba-tiba selera makanku kembali pulih. Aku kembali mengambil pisang goreng itu.
“Terkadang, ada kalanya manusia itu belajar dari sekelilingnya. Seperti air, tanah, angin, pada rumput-rumput yang bergoyang dan juga padi yang tumbuh subur disini”, jelas nenek sambil memandang langit biru.
“ Kenapa seperti air, tanah, angin, pada rumput-rumput yang bergoyang dan juga padi yang tumbuh subur disini?” Tanyaku penasaran.
“Nak, taukah kamu? Allah menciptakan semua makhluk di dunia ini saling berkaitan dan juga saling memilki ketergantungan. Itulah rahmat. Tanpa air kita tak dapat hidup dan dari air kita dapat mengambil pelajaran. Air mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah. Mengapa? Pada dasarnya ia memang harus mengalir. Dialah benda cair. Padi, semakin berisi ia semakin merunduk. Nah, dari padi juga kita dapat mengambil pelajaran”
“Pesan nenek. Jadilah dirimu sendiri. Penganglah dan yakinlah pada prinsipmu sendiri. Janganlah berperilaku sombong. Contohlah padi yang semakin merunduk karena ilmunya. Kenapa tak boleh berperilaku sombong? Karena sombong adalah sifatnya setan. Mungkin kamu bingung kenapa nenek harus begini? Nak, anggap semua itu adalah rahmat. Mungkin Allah memberikan rahmat kepadamu, kamu mendapat teman seperti itu, kamu dapat belajar karena mereka. Janganlah bersedih. Tak ada masalah didunia ini yang tak dapat terselesaikan. Jalani dan bersikaplah bijaksana dan yang terpenting, tersenyumlah. Karena sebuah senyuman dapat meringankan beban seberat apapun”.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan nenek yang panjang lebar. Sungguh beruntung aku punya teman seperti mereka, tetapi aku tak bisa bergaul dengan baik. Aku baru tau, aku belum pandai menempatkan diri dalam suatu keadaan. Memang aku perlu waktu, itu memang bukan salahku. Untuk apa kufikirkan.
“Nek, nasehat nenek sungguh berharga bagi Salma lho nek. Salma sungguh bersyukur dan bahagia setelah mendengar itu semua”, Jelasku. Aku kembali melahap pisang goreng nenek dan senyumku mulai merekah, nenek pun membalasnya. Kemudian, nenek kembali merapikan koran-koran bekasnya.
****
Setelah satu minggu berlalu, pesan Bunda kembali teringat dibenakku. Aku baru tahu makna dari perkataan Bunda itu. Aku baru dapat menyesuaikan diri. Dan aku juga berterima kasih pada nenek itu. Nenek telah mengajariku tentang kehidupan. Sekarang, aku akan menghadapinya dengan senyuman. Karena tak ada masalah didunia ini yang tidak dapat terselesaikan.
“Sal…”, seseorang menepuk pundakku. “Iya…“, kubalikkan arah badanku. “Helena? Ada apa?” melihatnya wajahku penuh dengan sejuta pertanyaan. “Maafkan aku Salma, aku salah menilaimu. Semestinya aku tau akan sikapku padamu. Aku ingin kamu dapat memaafkanku. Soal kemarin itu, itu salahku. Aku tak sengaja memecahkan guci mamanya Jenni. Maafkan aku, malah kamu yang dituduh, sungguh susah mencari teman yang setia”, Helena menangis tersedu-sedu.
“Ouhh. Itu… Aku udah memaafkan kamu kok. Lagi pula, mamanya Jenni nggak marah kok”, senyumku. “Salma… makasihhh “, merangkul tubuhku. “Tapi, kok kamu bilang sungguh susah mencari teman yang setia, memang apa yang terjadi?”, tanya Salma.“Ouhh., kemarin itu aku dan teman-teman ditraktir. Katanya aku dijemput, lama kutunggu mereka, tapi Jenni mengingkari janjinya, dia malah jemput Lisa”, mata Helena berkaca-kaca hingga air matanya kembali menetes. “Ya sudah nggak usah sedih lagi”, menenangkan Helena.
***
                Sore hari, aku mengambil sepedaku untuk bermain. Terlintas dipikiranku “nenek”. Langsung aku melaju kerumah nenek. Mana rumah nenek? Hilang? Hanya sawah yang dapat kulihat. Tiba-tiba, lewatlah seorang petani membawa cangkul di depanku. “Pak, Pak…!”, panggilku. “Ia, ada apa nak?”, jawab petani itu, paculnya dijatuhkan ketanah.“ Rumah yang disawah ini dimana ya Pak?”, tanganku menunjuk ke arah sawah yang kufikir sebuah rumah seharusnya ada disitu.
“Hah? Rumah? Sepertinya disini tidak ada rumah, disini semua sawah nak”, terang petani itu.
Aku bingung mendengar jawaban bapak itu. Tanpa berpikir panjang  aku langsung membalikkan arah sepeda menuju pulang. Aku hanya bisa tersenyum dan merasa aneh.

Novie Yurlanda / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 komentar:

  1. Makin bgus aja crpen novie...
    :-)
    Trus brkrya yha buk....
    Smangaat.....!!!

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak ya Fahmy...
    ^^ okeh siip >.<
    semangat

    BalasHapus

Coprights @ 2020, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By ToraBatch