“Aku duluan ya Dara.” kulambaikan tangan pada kawan
akrabku. Kakiku terus bergerak cepat hingga niatku berlari sekencang mungkin
untuk menghindari hambatan di
jalan itu. Jalan menuju sekolahku dekat dengan kuburan. Keadaan sunyi inilah
yang paling ku benci karena bulu romaku selalu bangkit memberitahukan sesuatu
yang mengerikan.
Itu! ada orang, aku tidak perlu lari lagi.
Kakiku pun
mulai menormalkan kecepatan menuju rumah.
“ Kak Geena!!.” Suara itu
terdengar dari kejauhan. Aku mengenalnya.
“ Naya!.” Kulambaikan tanganku
dan kakiku pun mulai bergerak lebih cepat,
hatiku ingin cepat-cepat menghampirinya.
“ Kak Geena! Kamu sudah janji sama Naya mau main sepeda
kan?’’
“ Ya iyalah. Jom! melaju .” kataku
seraya mengangkat tangan tanda aku menyetujuinya.
Sesampai di pintu pagar, aku
melihat Ayah tergesa-gesa mencari topi dan masker. Ditangannya tergenggam baju yang pendek dan
kusam.
“ Naya! Cepat turun dari sepeda.” Teriaknya dengan nada kasar tapi agak
terburu-buru.
Hal seperti ini selalu terjadi. Jadi aku harap maklum, namun janjiku dengan Naya belum ku
wujudkan. Saat dia sakit seminggu yang lalu, aku berjanji padanya ingin bermain sepeda. Aku ingin membawanya
kesuatu tempat. Tempat yang belum pernah ia kunjungi. Apakah janji ini harus ku ingkari ketiga
kalinya?! Ah, tidak! Tapi
Ayah perlu sepeda untuk pergi sekarang juga. Sebelum semen-semen itu diangkat
oleh orang lain.
“ Ayah…” ku beranikan diri memanggilnya.
Namun dia tidak mengubrisnya. Karena dia sibuk mencari penutup hidung dan topi. Kulihat Roni
masih mengikuti gerak-gerik Ayah.
“ Geena! Kamu jaga Roni. Jaga dia, jangan sampai dia menangis.” Kata Ayah terburu-buru mengambil
langkah.
“ Iya Ayah, tapi dimana Ayah akan mengangkat semen?!.” Tanyaku dengan harapan melegakan.
“ Ouhh. Ditempat Buk Nidar. Kenapa?!.” Tanya Ayah hendak mengambil
sepeda dari tanganku.
Alhamdulillah. Dekat! aku bisa
bermain dengan Naya.
“ Geena aja yang antar Ayah ya?”, Jawabku
hati-hati.
“ Ya sudah… selepas pulang,
tolong carikan topi dan bawa
kesana.”
Aku
mengiyakan. Langsung aku duduk di belakang Ayah.
“ Naya…
tolong carikan topi Ayah.”teriakku.
“Seep kak!.”
Dia berlari kecil menunjukkan jempol.
****
“ Sudah kau temukan Naya?!”
Tanyaku. Tanganku menaruh
sepeda Phoenix hitam merah.
“ Ini kak baru kutemukan. Jom
kita kesana!” senyumnya merekah.
Saat itu
hati ku seperti merasakan hal aneh. Namun aku terlampau senang melihat senyum
Naya. Tapi bagaimana dengan Roni. Akankah aku membawanya juga. Jika ku pergi
dengan Naya. Roni sendirian.
“ Kakak…” suara Roni membangunkanku dari lamunan. Dia memengang bajuku
erat-erat. Sepertinya ia tahu aku dengan Naya akan pergi bermain.
“ Jomlah kak.” Ajak Naya lagi.
“ Nay… Roni gimana?! kita titip sama siapa dia?! Aku tak mau lagi kena benda
itu di kulitku.” kulirik
betis yang dipenuhi garis
kebiru-biruan.
“Biarkan saja dia. Toh, nanti dia masuk sendiri kedalam.” Jawab Naya
penuh hasrat ingin balas dendam pada Roni. Roni si bungsu sangat disayang dan
dimanja oleh Ayah. Naya sangat iri pada Roni.
“Hiks hiks.” Suara tangis Roni mulai
terdengar.
“Ya sudah bawa saja
dia.” Ketus ku.
Langsung ku ambil phoenix hitam merah tanpa keranjang itu.
Sebelum ku
balik arah sepeda itu menuju rumah Buk Nidar. Aku merasa ada hal aneh. Akan
terjadi sesuatu lagi. Bahkan lebih buruk lagi daripada sebelumnya. Apakah ini
akhir dari sebuah kebahagiaan?!
Lamunanku, sontak membuat ku kaget. Naya
meminta duduk di depan sepeda. Dia tak ingin di bonceng di belakang. Biar saja
Roni yang dibelakang. Toh, Roni itu nggak ngeluh.
Akhirnya aku
menurut padanya.
Diperjalanan,
Naya terus bercanda, candaannya sungguh membuat ku geli mendengarnya.
Tanpa ku
sadari Roni juga mengajakku berbincang.
Namun aku tidak
terlalu memperhatikannya, karena
aku ingin mendengar kisah lucu Naya.
“ Kakak… kakak… kakak…” panggil Roni penuh harapan akan jawabanku.
Saat itu
jari sepeda di belakang terasa ada sesuatu benda tersangkut.
“Sakittt…aaaaa. kakak .” keluh Roni.
“Naya turun sekarang!.” Bentakku.
Sepeda
terjatuh. Roni masih terduduk di sepeda. Ia tidak bisa dilepaskan. Kakinya
tersangkut jari-jari sepeda.
Saat itu aku
kalap!.
Bagaimana
ini?!
Saat itu aku
hampir tiba di rumah Buk Nidar. Terpaksa ku panggil Ayah. Ayah saat itu, mukanya merah padam. Ia tak
mengubris. Aku tak tau mengapa ia tak mengubrisnya. Ia terus mengangkat semen.
Seakan tak terjadi apa-apa. Aku
mulai pasrah.
Roni bertahanlah!
Aku terus
menangis… Bahkan Naya sangat shock ia
tak tau berbuat apa-apa. Seorang pemuda yang tak ku kenal menolong Roni. Tanpa
pria itu kaki Roni masih tersangkut. Pendarahan dikakinya sungguh dahsyat.
Yaallah! Kaki nya telihat tulang. Aku membopongnya ke rumah. Tenagaku telah
habis terkuras, seakan jarak rumah masih jauh. Aku Ingin berhenti.
Tidak! Aku harus membawa nya
pulang.
Alhasil. Aku
mendapat tamparan itu lagi di wajahku ini tanpa kena benda itu. Sayang, Naya
terus menerus dirajam oleh Ayah. Naya tidak memperlihatkan kesakitannya.
Kuputuskan pada Ayah, biarlah aku yang menerima hukuman itu. Fakta nya aku yang
salah.
Sungguh sakit!
Bayangan itu
tiba-tiba sirna sekejap.
“ Kak… tolong ambilkan tongkat
ku sebentar.” Pinta Roni.
Maafkan aku
Roni. Aku bukan kakak terbaikmu. Kamu bukan lagi manusia kaya. Tapi kamu
miskin. Miskin kaki, karena ku, sekarang kau telah cacat. Naya maafkan kakakmu
ini.
Inginku
memanggil mereka berdua, ingin ku peluk mereka berdua. Aku berlari kecil menuju
mereka. Tidak! Aku tidak bisa menyentuh mereka. “Naya… Ron… Ron, kakak datang
menjenguk kalian.” Kata ku pasrah tanpa jawaban.
Naya tersenyum “ jadi.”
Aku hanya
bisa melihat mereka berjalan menuju makamku.
Alur yg sgt bgus...
BalasHapusMngkin klo tngkat pnyesalannya d tngkat lgi..
Akn lbh bgus....
:-)